Rabu, 12 Februari 2014

Perbedaan Otak Optimis dan Otak Pesimis


Perbedaan Otak Optimis dan Otak Pesimis 

Para ilmuwan menemukan beberapa perubahan yang tampak dalam cara kerja otak yang memungkinkan dapat memberikan indikator untuk membedakan antara pribadi yang optimis dengan pesimis.
Banyak orang memiliki reaksi berbeda terhadap suatu peristiwa, kejadian atau perbuatan; ada positif dan negatif. Dan respon otak terhadap berbagai peristiwa dan kejadian sangat bergantung pada sifat kepribadian dari setiap orang.
Dr. John Gabrielli, ketua kelompok ilmuwan dari Stanford University Amerika telah melakukan riset terhadap permasalahan ini. Ia menemukan, mungkin saja terjadi perbedaan terhadap pribadi yang optimis dan gembira dengan pribadi yang sedih dan pesimis.
Riset ini terpokus pada sekelompok wanita berusia sembilan belas hingga empat puluh dua tahun. Para wanita tersebut terbagi menjadi dua bagian ketika menjawab beberapa pertanyaan dan peristiwa.
Pertama wanita yang optimis dan kedua wanita yang pesimis, emosi dan pencemas.
Para ilmuwan menjabarkan, pada dua bagian tersebut, contoh peristiwa yang membahagiakan adalah pesta ulang tahun. Sedangkan gambaran yang menyedihkan dan suram seperti rumah sakit, bangsal, dan lain-lainnya.


Bentuk peristiwa
Ketika melanjutkan proses penampilan contoh, para ilmuwan melakukan perbandingan aktivitas wanita pada beberapa tempat dari otaknya. Setelah itu, para ilmuwan berkesimpulan: wanita optimis memberikan respon lebih kuat terhadap yang membahagiakan daripada wanita pesimis dan cemas.
Hal sebaliknya juga tepat jika diperhatikan adanya aktivitas yang tidak biasa pada otak wanita yang cemas dan emosi saat ditampilkan atasnya kondisi sedih dan suram.
Namun, menurut Dr. John Gabrielli, kepala tim peneliti menyatakan, respon otak terhadap suatu peristiwa sangat bergantung pada sifat kepribadian masing-masing orang.
Walaupun percobaan itu tidak membuktikan secara pasti jika penyebab munculnya sikap pesimis dan optimis karena kelemahan, kurangnya aktivitas otak, sekedar tampilan atau perubahan fisiologis lainnya.
Tetapi, Dr Gabrielli mengatakan, dengan memberikan lebih banyak cahaya pada aktivitas otak dan sifatnya yang berkembang di kemudian hari dapat berguna dalam menangani penyakit mental seperti depresi.
Beliau juga menambahkan bahwa belum diketahui hingga sekarang apakah masalah ini berkaitan dengan genetika pra-kondisi atau merupakan bagian dari proses pendidikan dan penyesuaian sosial.



Bersama Dakwah

0 Komentar:

Posting Komentar

[Reply to comment]