Memaknai Hari Raya Iedul Qurban
Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Jika udhiyah (qurban) itu diwajibkan karena nadzar seseorang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat nadzar, yaitu islam, baligh, berakal, merdeka dan atas pilihan sendiri. Jika udhiyah itu wajib menurut syar’i atau sunnah sebagaimana pendapat jumhur, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
1. Muslim. Orang kafir tidak diwajibkan atau tidak disunnahkan untuk berqurban karena qurban adalah bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Sedangkan orang kafir bukanlah ahlul qurbah.
2. Orang yang bermukim. Musafir tidaklah wajib untuk berqurban. Syarat ini dikenakan bagi yang menyatakan bahwa berqurban itu wajib. Karena qurban tidak diambil dari seluruh harta atau dilakukan setiap saat, namun dilakukan dengan hewan tertentu dan waktu tertentu. Sedangkan musafir tidak berada di setiap tempat dan tidak berada pada pelaksanaan qurban. Seandainya kita mewajibkan pada musafir, maka ia harus membawa hewan qurbannya saat ia bersafar. Dan tentu ini adalah suatu kesulitan atau bisa jadi pula ia harus meninggalkan safar sehingga jadilah ada dampak jelek untuk dirinya.
Namun bagi yang tidak mengatakan wajib, tidak berlaku syarat ini. Karena kalau disyaratkan, maka itu jadi beban. Artinya, boleh saja qurban dilakukan oleh seorang musafir semisal ketika berhaji dia meninggalkan negerinya, namun pun ia ikut menunaikan udhiyah atau qurban. Bahkan ada dalil yang mendukung hal ini,
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya dan ia dalam keadaan haid di Sarif sebelum ia memasuki Makkah dan ia dalam keadaan menangis. Lalu beliau berkata pada ‘Aisyah, “Ada apa engkau, apakah engkau sedang haid?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada wanita. Lakukanlah seperti yang dilakukan orang yang berhaji selain melakukan thowaf di Baitul Haram.” Ketika kami sedang di Mina, aku pernah diberi daging sapi. Lalu aku berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya dengan sapi.”
Inilah dalil atau alasan Imam Syafi’i di mana beliau menyatakan bahwa hukum qurban itu sunnah bagi setiap orang, termasuk bagi yang sedang berhaji di Mina dan saat itu dalam keadaan bersafar.
Begitu pula dalil lainnya,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Kami dahulu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Lalu tiba Idul Adha, lantas kami berserikat tujuh orang untuk qurban satu ekor sapi dan sepuluh orang untuk qurban satu ekor unta.” Jadi sah-sah saja berqurban bagi musafir.
3. Kaya, berkecukupan atau mampu.
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa qurban itu disunnahkan bagi yang mampu, yaitu yang memiliki harta untuk berqurban, lebih dari kebutuhannya di hari Idul Adha, malamnya dan selama tiga hari tasyriq juga malam-malamnya.
4. Telah baligh (dewasa) dan berakal.
Syarat- Syarat Hewan kurban
1. Umurnya sudah mencukupi, untuk domba adalah enam bulan, dan kambing setahun, sedangkan sapi dua tahun dan unta lima tahun.
2. Selamat dari aib dan cacat, berdasarkan sabda Rasulullah shallawahu alihi wasallam: (Ada tiga hal yang tidak diperbolehkan dalam berkurban, yang buta jelas kebutaannya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, yang kurus yang tidak kelihatan dagingnya) Shahih, (Lihat Shahihul Jami: 886).
Ada juga cacat yang lebih ringan dari yang ini yang tidak menghalangi keabsahannya namun makruh disembelih seperti yang patah tanduknya atau putus telinganya, atau terbelah telinganya dan lain-lain, karena berkurban adalah taqarrub kepada Allah, sedangkan Allah itu bagus dan tidak menerima kecuali yang bagus, dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Islam maka itu merupakan ketakwaan hati.
3. Haram menjualnya: apabila hewan kurban telah ditentukan maka tidak boleh menjualnya atau menghadiahkannya kecuali menggantinya dengan yang lebih baik, jika hewan kurban beranak maka dikurbankan bersama anaknya, sebagaimana diperbolehkan menaikinya jika perlu, dan dalilnya adalah yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki yang menuntun seekor unta lalu beliau berkata : (Naikilah dia, dia berkata: dia unta kurban, lalu beliau berkata: naikilah dia sampai kedua atau tiga kalinya).
4. Menyembelihnya diwaktu yang ditentukan, yaitu setelah sholat Idul Adha dan khutbah, bukan setelah masuk waktu sholat, sampai sebelum terbenamnya matahari akhir hari Tasyriq yaitu hari ketiga belas bulan Dzul Hijjah berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: (barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat maka hendaklah mengulanginya) HR Imam Bukhari dan Muslim, juga berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu anhu: (hari-hari menyembelih adalah hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya) dan ini madzhab Hasan Al-Bashri, Atha bin Abi Rabah, Auzai, dan Syafiie, dan dipilih Ibnu Mundzir semoga Allah Merahmati mereka semua.
Apa Yang Dilakukan Terhadap Hewan Kurban
1. Bagi yang memiliki hewan kurban disunahkan pertama kali untuk makan darinya apabila memungkinkan berdasarkan hadits: (hendaklah setiap orang makan dari hewan kurbannya) dishahihkan dalam Shahihul Jami : 5349, dan hendaklah makan setelah sholat Idul Adha dan khutbah dan ini pendapat para ulama diantaranya Ali, Ibnu Abbas, Malik, dan Syafiie dan lainnya. Dan dalil diatas adalah hadits Buraidah radhiallahu anhu: (dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar sholat pada hari raya Idul Fithri sampai beliau makan, dan tidak makan pada hari raya Idul adha hingga beliau menyembelih) Syeikh Albani rahimahullah berkata: sanadnya shahih: Al Misykat 1/ 452.
2. Yang paling afdhol menyembelih sendiri, jika tidak maka disunahkan untuk menghadiri penyembelihannya.
3. Disunahkan membagi dagingnya tiga bagian, sepertiga untuk dimakan, sepertiga dihadiahkan, dan sepertiganya lagi disedekahkan, seperti dikatakan Ibnu Masud dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum, sebagaimana para ulama sepakat bahwa tidak boleh menjual dagingnya, lemaknya atau kulitnya, dalam hadits shahih: (Barangsiapa menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya) dihasankan dalam Shahihul Jami: 6118, dan tidak boleh diberikan sedikitpun dari kurbannya kepada jagal sebagai upah berdasarkan perkataan Ali radhiallahu anhu: (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanku untuk menyembelih unta dan mensedekahkan dagingnya dan kulitnya dan tali kekangnya dan tidak boleh memberikan kepada jagal sedikitpun darinya) dan dia berkata: dan kami memberikannya dari harta kami sendiri. Muttafaqun alaihi.
Dan katanya dibolehkan memberikan kepadanya sebagai hadiah, dan dibolehkan memberikannya kepada orang kafir karena kefakirannya atau kekerabatannya atau karena tetangga atau untuk melunakkan hatinya. Diambil dari Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Bazz.
Adapun dizaman sekarang, dimana orang-orang tidak bisa mengolah kulit kurban dengan sendirinya, maka seorang ulama berfatwa bahwa boleh yang berkurban mensedekahkan kepada sebuah badan kebajikan yang posisinya mewakili kaum fakir miskin lalu badan ini menjualkan kulitnya untuk mereka.
Adapun patungan kurban disekolah-sekolah dasar yaitu setiap anak mengumpulkan sejumlah uang, maka ulama berfatwa boleh untuk latihan kurban, namun bukan termasuk kurban yang sah secara syar'ie, apabila disedekahkan maka mudah-mudahan bernilai pahala, namun sebaiknya tidak dilakukan oleh orang dewasa, karena bukan waktunya untuk latihan.
Disunnahkan Menyembelih Langsung Tanpa Diwakilkan
Dari Anas bin Malik, Rasulullah berkurban dengan dua kambing amlah yang bertanduk, beliau menyembelih kedua hewan tersebut dengan tangannya sendiri. Dan Rasulullah membaca basmallah dan bertakbir, dan meletakkan kaki beliau di badannya (dekat leher).
(amlah, kambing yang bulunya berwarna hitam dan putih dengan warna putih yang lebih mendominasi, kambing ini sangat indah dan mahal harganya).
Sebaiknya seseorang menyembelih hewan kurban dengan tanggannya sendiri apabila dia mengetahui tata cara yang benar dalam menyembelih. Apabila seseorang tidak mengetahui tata cara penyembelihan maka boleh diwakilkan kepada orang lain.
Wajib untuk membaca basmallah (atau menyebut nama Allah yang lain) ketika menyembelih, dan diperbolehkan untuk menambahi dengan takbir. Syarat menyembelih ada delapan, harus terpenuhi delapan syarat ini agar sembelihannya sah dan halal:
Syarat-Syarat Penyembelih Hewan Qurban
Yang menyembelih adalah orang yang berakal, tidak gila dan mumayiz (sudah bisa memahami pertanyaan dan menjawab dengan baik).
Muslim, atau diperbolehkan yang menyembelih adalah Yahudi atau Nashrani dengan syarat mereka menyembelih dengan tata cara yang diajarkan dalam agama mereka. Apabila mereka menyembelih dengan selain cara yang diajarkan dalam agama mereka, misalkan menggunakan listrik, dihancurkan kepalanya, dll maka sembelihannya haram.
Menyembelih dengan maksud menghalalkan hewan tersebut. Apabila seseorang menyembelih hewan misalkan karena marah maka haram hukumnya.
Diperuntukkan bagi Allah, apabila disembelih untuk selain Allah maka haram hukumnya.
Menyebut nama Allah, sebagian ulama memperbolehkan membaca dengan nama Allah yang lain misalkan, bismi Rabbil Ka’bah. Apabila lupa membaca basmallah maka sembelihannya tetap halal untuk dimakan.
Menggunakan benda tajam selain gigi dan kuku untuk menyembelih.
Mengalirkan darah dari hewan yang disembelih. Hal ini bisa tercapai dengan memotong empat saluran dalam tubuh:
Saluran nafas
Saluran makan dan minum
Dua urat tebal yang berada di sekitar nomer 1 dan 2.
Bukan dari golongan orang yang tidak di-izinkan secara syar’i untuk menyembelih, yaitu:
Berkaitan dengan hak Allah, misalkan menyembelih di tanah haram.
Berkaitan dengan hak makhluk, misalkan menyembelih hewan curian.
Dari Anas bin Malik, dalam riwayat terdapat tambahan bahwa Rasulullah membaca basmallah dengan “bismillaahi wallaahu akbar”. Demikian yang ditetapkan dalam hadits Rasulullah membaca lafadh “bismillaahi”.
Dari Aisyah, Rasulullah memerintahkan agar dibawakan kambing yang bertanduk, kambing tersebut menginjak dengan bulu hitam, duduk dengan bulu hitam, dan memandang dengan bulu hitam. Rasulullah bersabda “bawakan pisau, tajamkan pisau ini dengan batu”, kemudian kambing tersebut dibaringkan oleh Nabi, dan beliau menyembelihnya, dan Rasulullah membaca “bismillah, ya Allah terimalah dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umatnya Muhammad”.
Hadits ini menjelaskan ciri-ciri kambing amlah, yaitu bulu hitam di kaki, sekitar perut, dan mata.
Adab menyembelih
Tidak menajamkan pisau di depan hewan.
Tidak menyembelih di depan hewan yang lain.
Tidak menyembelih sampai putus kepalanya. Makruh apabila menyembelih sampai putus kepalanya. Apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut masih bergerak, maka halal dagingnya. Tetapi apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut tidak bergerak, maka haram dagingnya karena hewan tersebut mati karena kepalanya yang putus bukan karena putus 4 saluran.
Bab Boleh menyembelih dengan semua benda tajam kecuali gigi, kuku, dan seluruh makanan.
Tambahan “seluruh makanan” disini adalah dari Imam Nawawi, sedangkan dalam hadits hanya dibatasi gigi dan kuku.
Dari Rafi`, ya Rasulullah sesungguhnya besuk kami menjumpai musuh dan kami tidak memiliki pisau-pisau, jawab Nabi, “bersegera, apa yang menyebabkan darah mengalir dan disebut nama Allah terhadapnya maka makanlah kecuali dari gigi dan kuku, adapun gigi adalah tulang sedangkan kuku adalah senjata orang Habasyah”, maka kamipun setelah itu mendapatkan harta rampasan berupa unta dan kambing, maka pada saat disembelih ada seekor unta yang lari, maka ada seorang lelaki yang membidiknya dengan anak panah dan menyebabkan unta ini berhenti, maka Rasulullah bersabda “sesungguhnya diantara unta-unta ini kadang menjadi liar seperti binatang buas, apabila terjadi kepada kalian hal yang seperti ini maka lakukanlah seperti yang telah dilakukan tadi (memanahnya)”.
Pelajaran:
Tidak boleh menyembelih dengan kuku atau gigi.
Apabila hewan yang mau disembelih sulit ditangkap, maka boleh mengalirkan darahnya dari mana saja.
sumber:
http://www.pesantrenvirtual.com
http://bangvandawablog.blogspot.com/
0 Komentar:
Posting Komentar
[Reply to comment]